girl holding purple and green camera toy

Kalau Anak Sering Tantrum, Apa Artinya Salah Didik?

Erika Az Zahra Nurcahyani

TANTRUM. Kata yang cukup sering membuat orang tua cemas, malu, bahkan merasa bersalah. Terutama ketika Si Kecil tiba-tiba menangis kencang di tempat umum, berguling di lantai, atau berteriak karena hal yang buat orang dewasa terlihat “sepele”.

Tapi, tunggu dulu, Bunda. Kalau anak sering tantrum, apakah itu artinya salah didik? Apakah kita terlalu memanjakan, atau justru terlalu keras?

Tantrum Itu Normal (dan Sehat!)

Tantrum adalah bagian alami dari proses tumbuh kembang anak, terutama di usia 1–4 tahun. Di usia ini, otak anak masih belajar mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi. Saat anak merasa lapar, kecewa, lelah, atau bingung, mereka belum punya “kosakata emosi” yang cukup untuk menyampaikan perasaan itu. Disinilah tantrum sering muncul sebagai bentuk ekspresi emosi yang belum bisa disalurkan dengan cara lain.

Menurut penelitian perkembangan anak, tantrum bukan tanda kegagalan pengasuhan, melainkan sinyal bahwa anak sedang mengalami lonjakan emosi yang belum bisa mereka kelola sendiri.

Anak Bukan “Drama Queen”, Mereka Lagi Belajar

Coba bayangkan, kita sebagai orang dewasa saja kadang masih kewalahan dengan emosi sendiri. Kita bisa merasa kesal saat macet, kecewa saat rencana gagal, atau menangis saat stres.

Nah, anak usia 1–4 tahun belum paham sepenuhnya apa itu rasa kesal, kecewa, atau bingung. Belum lagi keterbatasan dalam kosakata emosi. Saat tidak boleh makan es krim atau harus berbagi mainan, wajar kalau emosi mereka meledak.

Dalam jurnal Child Development (2020), para peneliti menemukan bahwa tantrum lebih sering terjadi ketika anak merasa tidak memiliki kontrol, tidak dimengerti, atau merasa kehilangan sesuatu yang penting bagi mereka — yang artinya, ini bukan soal “drama”, tapi tentang kebutuhan emosi yang belum terpenuhi.

Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?

  • Membangun koneksi emosional

    Saat anak tantrum, yang mereka butuhkan bukan hukuman, tapi kehadiran. Duduk dekat, peluk, atau cukup temani. Ini mengajarkan bahwa emosi besar tidak membuat mereka ditolak.

  • Membantu anak mengenal emosi

    Setelah reda, bantu anak menamai perasaannya: “Kamu tadi marah banget ya karena nggak dapat giliran main?” atau “Kamu kecewa ya karena kita nggak jadi ke taman?”

  • Melatih regulasi emosi

    Ajari anak cara menenangkan diri dengan ambil napas panjang, memeluk boneka kesayangan, atau menunggu di ruang tenang. Ini membantu mereka punya “alat” untuk mengelola emosi ke depannya.

Orang Tua Bukan Polisi Emosi, Tapi Cermin Emosi

Anak belajar emosi pertama kali dari orang tuanya. Saat kita bisa hadir dengan tenang, merespons dengan empati, dan membantu mereka memahami diri, anak belajar bahwa emosi bukan musuh. Mereka belajar bahwa semua emosi boleh dirasakan — yang penting adalah bagaimana cara kita mengelolanya.

Jadi, kalau Si Kecil sering tantrum, bukan berarti Bunda salah. Bisa jadi, itu justru tanda bahwa ia merasa cukup aman untuk mengekspresikan emosinya di depan kita. Dari sanalah, tumbuh kedekatan, kepercayaan, dan keterampilan emosi yang akan jadi bekal mereka sampai dewasa nanti.

Yuk, hadapi tantrum bukan dengan malu atau marah, tapi dengan pelukan, pengertian, dan kesabaran. Karena di balik setiap tangisan, ada anak kecil yang sedang belajar menjadi manusia seutuhnya.

✨ Mau nggak belajar bareng kenali bakat anak dari akarnya?

Gabung yuk di Komunitas Cerita Parents. Kita tumbuh bareng, pelan-pelan tapi berdampak. 🌱

Tentang Penulis

Erika Az Zahra Nurcahyani

Progress, not perfection. Seorang pegiat sastra Bahasa Indonesia yang tertarik di dunia parenting sejak dini.

Lainnya Untuk Anda